Search

Fauzan Aziz

Vivat Academia. Vivant Professores.

Sekilas Mengenai Wawancara Beasiswa LPDP-RI

Anda Memang Pintar, Tapi…

Dalam tiga hari kemarin saya kembali berkesempatan mewawancarai pelamar beasiswa LPDP di Jakarta. Ini kali yang kedua saya mewawancarai mereka, setelah di Kupang beberapa bulan yang lalu. Ada perbedaan besar antara karakteristik pelamar di Jakarta dan Kupang. Exposure terhadap informasi, pengetahuan terhadap isu-isu kekinian, dan “mimpi” pelamar di Jakarta rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pelamar di Kupang. Cara menilai diri dan menyampaikan keinginan juga berbeda, dan hal inilah yang ingin saya tulis kali ini.

Pelamar di Jakarta, dengan latarbelakang dari perguruan-perguruan tinggi terkenal, punya “mimpi” yang tinggi. Ekspresi mereka kira-kira seperti ini: “Saya punya kemampuan akademik tinggi, saya layak untuk bersekolah di Eropa, Australia, atau Amerika, dan dengan bekal pendidikan itu, saya akan membangun Indonesia!”. Self-esteem mereka tinggi, dan dengan nilai tinggi tersebut, mereka juga memasang target yang tinggi.

Bagus. Anak-anak sekarang memang harus didorong untuk melompat setinggi mungkin, lalu kembali untuk memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Sayangnya, saya melihat ada yang kurang…

Saya sulit menjelaskannya dengan singkat tentang apa yang kurang tersebut, tetapi intinya antara self-esteem yang tinggi dengan apa yang kelak akan dikontribusikan seperti ada gap. Tidak nyambung. Beberapa pelamar yang bisa dengan lancar menceritakan rencana studinya, tapi mereka kesulitan untuk merangkai cerita itu dengan penjelasan yang logis tentang bagaimana mereka kelak dapat berkontribusi. Contoh: ada yang ingin belajar tentang renewable energy (RE) dan kelak ingin berkontribusi membangun infrastruktur RE untuk melistriki Indonesia bagian timur. Ketika ditanya caranya bagaimana, dia bilang dia akan membuat perusahaan RE dan membangun pembangkit-pembangkit mikrohidro di sungai-sungai di pedalaman Papua dan Maluku, lalu dengan itu dia bisa melistriki desa-desa. Oh come on boys… sebaiknya kalian turun ke bumi dan melihat realitas yg ada.

Inti pembicaraan saya adalah, self-esteem tinggi yang tidak diikuti dengan kontekstualisasi hanyalah asesoris tak bermakna. Potensi yang dimiliki seseorang hanyalah bernilai dan bermakna ketika menemukan saluran yang pas: bagaimana potensi itu bisa membawa kebaikan bagi lingkungannya. Meski anda pandai, tapi kalau tidak bisa bermanfaat, ya hanya cocok untuk jadi asesoris pajangan saja… 😀

Dan di sinilah poin yang paling penting: kontekstualisasi potensi hanya bisa dilakukan dengan kerendahan hati (humble). Kerendahan hati diperlukan untuk bisa melihat potret lingkungan sekitar dengan jernih dan mengidentifikasi apa yang mereka perlukan. Kerendahan hati akan menumbuhkan empati dan pemahaman terhadap lingkungan, dan dari sini baru kemudian bisa lahir solusi-solusi yang masuk akal, realistis, dan implementable. Tanpa kerendahan hati, yang ada hanyalah “aku”, perspektifnya adalah “sudut pandangku”. Dari fokus yang keliru, bagaimana bisa muncul solusi yang efektif?

Kepercayaan diri yang berlebihan (overconfidence) juga tidak baik, karena itu bisa “membutakan” dan membuat tidak mampu menerima saran yang baik. Dalam interview, kadang pewawancara melihat bahwa keahlian yang akan dipelajari sebenarnya tersedia di dalam negeri, tetapi pelamar ngotot untuk ingin bersekolah di luar negeri meskipun sudah diberi pengertian. Mau belajar manajemen teknologi tepat guna kok sampai ke Oxford, Inggris. Pewawancara sebenarnya oke-oke saja jika memang ada argumentasi yang solid untuk kengototan itu, tetapi kalau ngototnya semata didasari oleh kepercayaan diri bahwa “saya layak sekolah di LN” atau hanya dengan alasan “dengan sekolah di LN saya akan mendapatkan wawasan baru”, itu yang tidak bisa diterima. Ingat ya mas dan mbak, beasiswa LPDP itu berasal dari duit rakyat.

Jadi bagi para generasi muda yang akan melamar beasiswa, rendahkan hati anda. Lihatlah problem-problem di sekitar anda, lalu refleksikan ke dalam diri dan bertanyalah, apa yang bisa anda lakukan. Selanjutnya, buatlah rencana yang logis dan realistis. Memang, kalian pasti belum bisa membuat rencana yang rinci dan lengkap dengan segala kompleksitasnya, tetapi menempatkan diri kalian beserta potensi yang kalian bawa pada konteks permasalahan, lalu berikan yang terbaik yang kalian miliki, itu sudah cukup. Kami bisa kok, melihat dan menghargai usaha seperti itu. Kembali ke contoh di atas, setelah kalian balik dari luar negeri membawa ilmu tentang manajemen RE, ceritakan saja bahwa kalian akan bergabung dengan LSM yang bergerak di bidang energi untuk rakyat dan bersama-sama dengan mereka mencari cara yg lebih baik untuk memberikan akses listrik yang lebih baik bagi masyarakat. Sesederhana itu saja sudah cukup bagi kami untuk bisa melihat bagaimana kelak anda akan berkontribusi.

Intinya, LPDP tidak mencari sosok-sosok muda yang pintar saja. Yang dicari LPDP adalah insan muda yang pintar dan mampu menggunakan kepintarannya untuk membantu bangsa ini.

Satu hal lagi. LPDP juga perlu diyakinkan bahwa pelamar memang benar-benar tulus dan serius dalam menyiapkan kontribusinya. Urusan meyakinkan ini juga tidak mudah, karena memerlukan bukti, sementara kontribusi baru akan terjadi pada masa yang akan datang. Dalam kondisi seperti ini, yang kemudian dilihat adalah track record, konsistensi pola, dan gesture.

Kalau bilangnya kelak ingin membangun sarana kelistrikan bagi masyarakat pedesaan tapi tidak punya pengalaman dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, ya jelas sulit bagi siapapun untuk percaya. Kalau inginnya menjadi dosen tetapi saat wawancara menunjukkan pola-pola komunikasi yang tertutup, ya jelas orang akan meragukannya. Dan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan intonasi bicara kadang juga bisa menunjukkan ketulusan dan keseriusan seseorang.

Jadi sebenarnya studi lanjut (apalagi dibiayai beasiswa) itu adalah sebuah kegiatan yang seharusnya dirancang sebagai bagian dari perjalanan hidup. Studi lanjut bukanlah kegiatan sambilan atau sesuatu yang bisa dilakukan mumpung ada kesempatan. Ia perlu disiapkan. Ia perlu didukung oleh pola-pola kegiatan sebelumnya yang konsisten. Dan ia perlu ditindaklanjuti dengan kontribusi nyata bagi bangsa.

Jangan sampai LPDP menganggap pelamar memandang beasiswa sebagai kesempatan untuk “unpaid leave” atau “jalan-jalan gratis”. Jika seperti ini niatnya, percayalah, studi lanjutnya tidak akan berkah, karena beasiswa LPDP hakikatnya adalah amanah dari seluruh rakyat Indonesia.

Lukito Edi Nugroho, Ph.D.

(Pewawancara LPDP, Dosen Teknik UGM)

What is Entrepreneurial Leader?

Hampir semua setuju bahwa maju mundurnya sebuah perusahaan berada di tangan pemimpinnya. Nakhoda yang inovatif akan membawa perusahaan yang dipimpinnya mampu bertahan dan unggul meskipun ombak dan badai menerjang.Sebaliknya, pemimpin yang hanya bisa meniru, jarang sekali bisa membawa perusahaan yang dipimpinnya untuk bertahan dan selalu unggul di pasar. Lantas bagaimana caranya menjadi seorang pemimpin yang inovatif?

MarkPlus, Inc. menyebut pemimpin yang inovatif sebagai Entrepreneurial Leader, atau pemimpin yang berjiwa entrepreneur. Entrepreneurial Leader berbeda dengan pemimpin-pemimpin biasa. Setidaknya terdapat tiga kemampuan yang melekat pada mereka. Pertama, ia mampu mengenali dan  membaca peluang yang ada di pasar (Opportunity Seeker). Kedua, ia mampu memperhitungkan, mempertimbangkan dan mengambil risiko yang melekat pada peluang yang telah dikenali sebelumnya (Risk Taker). Ketiga, ia mampu mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya secara efektif dan efisien (Resource Allocator).

Untuk menjadi seorang Opportunity Seeker, dia harus mampu membaca segala macam perubahan yang terjadi di pasar. Mulai dari perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, politik-legal, sosial budaya, ekonomi serta industri. Dia juga bisa melihat, bagaimana dampak perubahan yang terjadi pada bidang-bidang tersebut terhadap pesaing dan konsumen perusahaan, serta bagaimana pengaruh perubahan pada pesaing dan konsumen tersebut berpengaruh pada perusahaan kita saat ini. Dia juga dapat mengantisipasi ancaman yang harus dihadapi perusahaan, hingga apa saja kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Kesemuanya harus diperhatikan secara seksama sehingga kesempatan yang ada dapat dimanfaatkan dengan seoptimal mungkin.

Peluang yang terlihat tentunya harus diperhitungkan dengan risiko-risiko yang menyertainya. Mulai dari risiko finansial maupun non-finansial, hingga risiko yang dapat dikendalikan maupun yang tidak dapat dikendalikan. Pasalnya, setiap industri memiliki karakteristik risiko yang berbeda-beda. Semakin berisiko biasanya semakin besar keuntungan atau profit yang dapat diperoleh. Yang jelas, apapunrisikonya, seorang pemimpin harus mampu meminimalisirnya sehingga jika terjadi suatu kerugian maka tidak mengganggu keberlangsungan hidup perusahaan, Prinsip yang harus dipegang dalam mengelola risiko adalah jangan pernah menaruh semua telur yang kita miliki di dalam satu keranjang secara bersamaan.

Setelah peluang didapat dan risiko dihitung, saatnya mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki perusahaan. Sumber daya yang dimiliki perusahaan dapat berupa finansial maupun non-finansial, sepertibangunan, peralatan, perlengkapan dan manusia. Tentunya sumber daya diperoleh dengan tidak gratis, melainkan ada biaya dan penyusutannya. Prinsip yang harus dipegang adalah optimal penggunaannya demi menghasilkan return yang maksimal (ROI). Semakin besar angka perhitungannya, maka semakin baik investasi yang dilakukan.

Pertanyaannya, bagaimana penerapan ketiga kemampuan tersebut di dalam bisnis? Ada satu contoh menarik yang layak untuk diceritakan disini. Anda yang dulu masih sempat merasakan layanan bis surat, telegram, dan wesel pasti mengetahui perusahaan ini. Ya,dia adalah PTPos Indonesia (Persero).

Di zaman gadget seperti saat ini mungkin banyak yang sudah lupa bahkan tidak mengetahui keberadaan perusahaan ini. Namun tahukah Anda bahwa Pos Indonesia adalah salah satu perusahaan milik pemerintah yang mampu bertahan di pasar berkat kepiawaian pemimpinnya yang merupakan Entrepreneurial Leader?

Dia adalah Setyo Riyanto, mantan Direktur divisi Retail and Property PTPos Indonesia (Persero). Sebelumnya beliau pernah menjabat sebagai Direktur Marketing and Business Development di perusahaan yang sama. Pada masa kepemimpinan, beliau banyak melakukan inovasi dan pencapaian pada Pos Indonesia.

Setyo mengungkapkan bahwa tidaklah mudah untuk mempertahankan perusahaan yang bisnisintinya telah termakan zaman dan tergantikan oleh kemajuan teknologi informasi seperti Pos Indonesia. Sekarang setiap orang dapat dengan mudah mengirimkan surat eletronik,bahkan mengirimkan pesan kepada teman dan kolega, dimana pun mereka berada, dalam hitungan detik dengan biaya yang nyaris gratis. Fenomena ini telah mengubur model bisnis yang selama ini dilakukan oleh Pos Indonesia.

Saat Setyo bergabung, diakuinya bahwa kondisi Pos Indonesia sangat memperihatinkan, dengan kinerja yang selalu merugi dari tahun 2004 sampai tahun 2008 dan diperparah dengan mayoritas tenaga kerja yang sudah berumur di atas 40 tahun. Akibatnya, perusahaan semakin sulit untuk berlari mengejar persaingan.

Pada saat genting seperti itu, Setyo melihat peluang untuk mengoptimalkan kompetensi yang dimiliki Pos Indonesia, yaitu kemampuan untuk membuat dan menerbitkan prangko. “Kami bekerja sama dengan perusahaan percetakan di Jerman dan berhasil menciptakan prangko berbahan Batik Tenun dan Kulit. Perangko ini sengaja dibuat dalam jumlah terbatas sebagai seri kolektordan dijual di luar negeri dengan harga satuanRp 20.000-Rp 50.000,” kata Setyo. Penjualan itu pun laku keras. Bahkan,Pos Indonesia berhasil mendapatkan suntikan pemasukan yang lumayan sebagai bekal untuk bertahan dan mulai berlari.

Berkolaborasi dengan paguyuban masyarakat Tionghoa, Pos Indonesia menerbitkan perangko edisi Shio. Prangko edisi ini pun disambut hangat oleh banyak masyarakat dan pengusaha keturunan di dalam maupun di luar negeri.

Setiap inisiatif yang dibuat oleh Pos Indonesia tentu memiliki risiko. Salah satu langkah berani yang diambil adalah dengan menjalin kerjasama dengan Merpati Airlines. “Saat itu, Merpati dipersepsikan oleh publik sebagai maskapai yang akrab dengan kecelakaan, sudah mau bangkrut dengan pesawat-pesawat yang sudah tua,” kata Setyo. Namun, Pos Indonesia tidaklah sembarangan menjadikan Merpati Indonesia sebagai rekan kerja dalam bisnis logistik dan pengiriman surat. Terlepas dari persepsi publik terhadap Merpati, Setyo yakin bahwa pilot-pilot Merpati yang haus akan jam terbangmampu menunaikan amanahnya. Berkat kerjasama ini Pos Indonesia mampu menekan biaya yang dihasilkan dan meningkatkan margin di unit bisnis logistiknya.

Sumber pendapatan lain yang mampu dihasilkan oleh Pos Indonesia untuk bertahan adalah dengan mengoptimalkan penggunaan aset-aset yang dimilikinya. Pos Indonesia merenovasi dan menyewakan gedungnya yang berjumlah ribuan dan tersebar di seluruh Indonesia kepada pihak swasta sebagai tenant. Hasilnya cukup memuaskan. Setelah diisi oleh pihak swasta, gedung-gedung tersebut mulai ramai dan hidup. Karenanya,jangan heran jika saat ini Anda akan menyaksikan gedung Pos Indonesia yang bersuasana mirip seperti mal dan dipenuhi oleh kawula muda ataupun keluarga yang ingin berbelanja ataupun menikmati berbagai hidangan di akhir pekan.

Untuk menjamin keberlangsungan nama, Setyo pun mematenkan merek “Kantor POS” terjemahan dari Post Office secara global. Sehingga, tidak boleh ada yang memakai nama “Kantor POS” selain Pos Indonesia. Jika ternyata ada perusahaan yang ingin menggunakanbrand itu, maka mereka harus meminta izin terlebih dahulu.

Berbagai langkah yang diambil terbukti mampu menyelamatkan Pos Indonesia dari ombak persaingan yang menerpa. Setyo Riyanto yang berjiwa entrepreneur, mampu membalikkan kinerja Pos Indonesia menjadi profit pada tahun 2009. Mereka pun semakin optimistisdalam menyongsong persaingan yang ada.Semua itu tidak terlepas dari jiwa kepemimpinan yang inovatif sehingga melahirkan sebuah keunggulan.

 

Writer: Andrizal, MarkPlus Institute

Source: http://marketeers.com/article/kiat-menjadi-seorang-entrepreneurial-leader.html

Daftar Beasiswa Dalam Negeri dan Luar Negeri

Ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tetapi tidak memiliki sumber dana yang cukup? Jangan kecewa, berikut daftar 37 pemberi beasiswa di dalam negeri dan luar negeri yang wajib disimak:

  1. Australia Award Scholarship
  2. LPDP Scholarship
  3. DIKTI Scholarship
    a. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN)
    b. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Luar Negeri (BPP-LN)
  4. Turkey Government Scholarship
  5. General Cultural Scholarship India
  6. USA Government Scholarship
    a. AMINEF
    b. IIEF
  7. Netherlands Government Scholarship
  8. Korean Government Scholarship
  9. Belgium Government Scholarship
  10. Sciences Po France
  11. Utrecht University Netherlands
  12. Prasetya Mulya Business School Indonesia
  13. Brunei Darussalam Government Scholarship
  14. Monbugakusho Scholarship Japan
  15. Paramadina University Master Fellowship Indonesia
  16. PPM School of Management Indonesia
  17. University of Twente Netherland
  18. Sweden Government Scholarship
  19. Chinese Government Scholarship
  20. Taiwan Government Scholarship
  21. United Kingdom Government Scholarship
  22. Panasonic Scholarship Japan
  23. Ancora Foundation Scholarship
  24. Asian Public Intellectuals Fellowship Japan
  25. AUN/SEED-Net Scholarship
  26. Art Asia Major Scholarship Korea National University of Arts
  27. Ritsumeikan Asia Pacific University Japan
  28. Seoul National University Korea
  29. Kemenag Republik Indonesia Overseas Scholarship
  30. Honjo International Scholarship Foundation Japan
  31. IDB Merit Scholarship Programme for High Technology
  32. International HIV & Drug Use Fellowship USA
  33. Nitori International Scholarship Foundation Japan
  34. School of Government and Public Policy Indonesia
  35. Inpex Scholarship Foundation Japan
  36. Asia University Taiwan
  37. Macquaire University Australia

Tunggu apalagi, kesempatan sudah banyak di depan mata. Terus berjuang mencapai cita-cita! 🙂

Why start-ups should focus on profits first, not growth.

The Get-Big-Quick Fallacy

by SCOTT ANTHONY

Is it better for a start-up to purse profitability initially, or go for growth? Advocates of that second, get-big-fast approach inevitably point to companies like Tumblr (the company founded by a high school dropout that Yahoo! just acquired for $1.1 billion before it had even $20 million in revenues) or YouTube (which was sold 19 months after its founding to Google for close to $2 billion), or other companies whose hyper-growth attracted suitors before a viable business model emerged.

But it’s important to consider how incredibly rare these examples are. For every Tumblr there are dozens of companies that had some success but never broke through — and hundreds more that never really got out of the starting block. Research by Harvard Business School senior lecturer Shikhar Ghosh, in fact, has found that fully 75% of venture capital-backed startups — presumably the crème de la crème of the startup world — failed to return the capital invested in them to their investors (let alone generate positive returns).

A pure focus on growth carries risks. If you are a growth-obsessed startup and venture capital financing dries up and buyers grow scarce, you can run out of money. If you are inside a big company, profit-draining ventures are typically early sacrifices in corporate cost-cutting exercises.

Why then do so many people doggedly focus on growth? There’s a term in the psychology literature for this — the availability heuristic. Big events are endlessly discussed and analyzed. They lodge in our memory, fooling us into thinking that they happen more frequently than they actually do. An oft-cited example of this phenomenon is the difference in perceived risks between getting on an airplane and getting in an automobile. Airplane crashes tend to be major news events; automobile accidents aren’t. The worst year for airplane fatalities was 1972, when more than 3,000 people died in plane crashes. That’s roughly the number of fatalities in automobile accidents in a typical month in the United States.

Growth is great, but profits are more convincing proof of long-term viability. Sufficient profits make a business self-sustaining, inoculating ventures against the need to pry money from tight-fisted venture capitalists or often-skeptical corporate investors.

When through our venture investment arm we seek to evaluate the profitability prospects of a young business, we look to see whether its team can credibly answer two questions:

  1. How will you charge enough for a transaction to cover the costs related to producing and delivering a good?
  2. How will you generate enough transactions to cover the fixed costs involved in running your business?

We know that the answers we’ll get are nothing more than hypotheses, which will change as the venture gains experience in the market. In fact, we’d be worried if a team were too dogmatic about its path to profits. As venture capitalist Fred Wilson notes, locking into a business model prematurely carries its own dangers. But seeing that a team is at least thinking about the road to profitability increases our confidence that the venture ultimately will arrive at the right destination.

There are times when a company chooses to be unprofitable. That is, individual transactions are profitable, but the company is investing in building infrastructure or marketing to build long-term advantage. For a long time, Amazon.com fit in this category. The company’s efficient supply chain made individual transactions profitable, even at low price points. But founder Jeff Bezos believed emphatically in scaling the business, and so he invested heavily in expansion. That’s different from a company that hasn’t yet figured out the essence of how it will make money. If for whatever reason Bezos couldn’t find the funds for investment, he could have easily decreased spending and kept the business solvent. The businesses to watch out for are those that don’t have any credible idea how they will make money.

Harvard scholar (and Innosight co-founder) Clayton Christensen guides innovators to be “patient for growth, and impatient for profits.” There are wonderful exceptions to this rule. The Apple iPad generated $10 billion in revenue in its first year (no patience required there!). Amazon.com has a massive market capitalization even though its thirst for investment seems unquenchable. Groupon went from nothing to $1 billion in revenue in two years.

As wonderful as these events are, they are exceptions. If you plan to be an exception, odds are you will be disappointed. If you plan for the norm and it happens that fortune smiles on you, at least try to remember the role luck played in your outcome when a young entrepreneur comes knocking for advice.

 

Scott Anthony is the managing partner of the innovation and growth consulting firmInnosight.. His most recent books are The Little Black Book of Innovation and the new HBR Single, Building a Growth Factory. Follow him on Twitter at @ScottDAnthony.

Source: Harvard Business Review Blog Network.  June 24, 2013.

Quran Quote

And those who strive for Us – We will surely guide them to Our ways. And indeed, Allah is with the doers of good.

{QS. al-Ankabut (29): 69}

Imam al-Ghazali Quote

6 hal yang paling dekat, jauh, berat, ringan, besar, dan tajam di dunia ini  menurut Imam al-Ghazali; Hal yang paling dekat adalah kematian, hal yang paling jauh adalah masa lalu, hal yang paling berat adalah amanah, hal yang paling ringan adalah meninggalkan shalat, hal yang paling besar adalah nafsu, dan hal yang paling tajam adalah lidah manusia.

Imam al-Ghazali

Jelfri al-Buchori Quote

Kebaikan akan mengantarkan seseorang kepada kebenaran, dan kebenaran akan mengantarkan seseorang kepada puncak pengetahuan lalu menjadi rendah hati. Puncak ibadah adalah kerendahhatian, bukan merendahkan.

Jefri al-Buchori

Framework for a Formal Business Plan

Here is framework or step by step for a formal Business Plan, turning the vision into a viable business plan. Good Luck!

Executive Summary

Highlight the key points and objectives in a few captivating paragraphs that entice investors read on.

  • A brief description of your business
  • Company mission (Passion and Purpose Proclamation)
  • Why your audience should invest in your business
  • How much money you’re requesting, what you need it for, and how you’ll pay it back

 

Company Overview

The company overview outlines basic information about your business, we can write up one or two paragraphs. See chapter 2!

  • What business are you in?
  • What is your company mission statement?
  • What product and/or services does your business offer and at what price points?
  • Where are you located?
  • What’s the history of your company? How long you been in business?

 

Competitive Analysis

Describes where you fit in the marketplace and identifies your competition, your target market, and what sets you apart from your peers. See chapter 3!

  • What does the industry look like?
  • What industry trends and opportunities can your business benefit from?
  • What barriers or challenges do you face in this industry?
  • What is the size of the total market? What percentage will your business target?
  • Who are your competitors?
  • What needs are you filling?
  • What sets you apart?

Management and Personnel Plan

Describes the company’s or organizational structure. See chapter 6!

  • What is the ownership structure of your business? Are you a sole proprietor, limited liability company, or corporation?
  • Are you the owner of the business? What’s your background and experience? Why are you the best person to run this business?
  • How are you paid? Are you making enough to pay yourself?
  • How much have you personally invested in the business already?
  • What is the organizational structure of your business? What are the major functions or roles and responsibilities?
  • Do you have a team of employees? How are employees paid?
  • What benefits do employees now, do you plan on hiring some? If so, when will you hire them and for what roles?
  • Do you work with independent contractors? If you aren’t working with contractors now, do you plan on outsourcing work to some in the future? If so, when will you outsource and for what type of projects?
  • Do you have an advisory board (a.k.a. your inner circle of advisors? If so, make sure to include their names and bios, as their expertise lends credibility to your organization?

 

Marketing Plan

The marketing plan outlines how and when you intend to reach your target audience. See chapter 4!

  • Who are your perfect customer? Where are they located?
  • What are your marketing goals?
  • What marketing mediums will you be using?

 

Financial Plan

The typical financial reports that lenders and investors want to see include the profit and loss statement, a cash flow statement, a balance sheet, and perhaps a break-even analysis. See chapter 5!

  • How much money does your business currently have in cash?
  • If your have the information available, what were your actual income and expenses from last year (by month)? This will come from your previous  year’s profit and loss statement.
  • How much do you plan on making in the next year, mapped out by month? How much do you plan on making quarterly in the next three years and the next five years? Use the profit and loss statement to project your income.
  • What are your estimated expenses for the next year, three years, and five years? Use the profit and lost statement to project your expenses.
  • How much is your business asking for as a loan or as capital? What are the specific things you need the money for (examples: equipment, remodeling a retail space, hiring employees, or launching a marketing campaign)?
  • How do you plan to pay the money back?

 

Operational Plan

Draw diagrams, create a storyboard, or make a colorful checklist.

  • What kind of inventory do you need to have on hand, such as raw materials, supplies, samples, or finished goods? How much inventory do you need to purchase, and by when?
  • What companies or individuals do you buy your materials from? Who are your backup supplier, in case your main supplier goes out of business or a product is out of stock?
  • What tool or equipment do you need in order to run your business or produce your goods? Do you rent or own your equipment? What is the process for regular repairs and maintenance? If the core of your business relies on this equipment, what is your contingency plan if something needs to be fixed.

Source: Lee, Jennifer. 2011. The Right-Brain Business Plan: A Creative, Visual Map for Success. United States: New World Library.

Breaking the silence on theory and practice

People still perceive rebranding as a logo, a design, or a color change that makes the visual more beautiful. After they change the visual, they only need to communicate the change to the market by using flyers, posters and other promotional material.

In some cases, we see growth and success in the market. However, it does not work for all cases. In fact, the majority of the brands that only change their visual parts do not have a happy ending, because they only change the skin, not the soul of the brand. The visual does not speak to the market. The brand does not deliver any unique experiences to the customer. As a result, the customers do not feel any change in the rebranding process.

However, some brand owners assume the problem is in how they advertise or promote the brand, and they spend more money to fix it. What is the result? Still no brand loyalty; the customer still cannot pinpoint the brand identity and unique features that communicate all over the time. They are trapped in a world of similarity.

This is a symptom that I would like to call the “Silent Brand”. This is when the brand does not stand for anything in the customer’s mind. They are “silent” because the customer cannot hear their voice or feel their presence in the middle of fierce competition in the market.

There are some general reasons why Silent Brand symptoms attack a business. It happens when the brand is forced to change or die, due to increasingly fierce competition. They do not know how to solve the problem and throw anything at it they can.

The worst case is when brand owners do not believe in their own brand. They do not appreciate their brand as they appreciate their office, factory, flashy car, iPad and other business assets. They think their brand is complementary to their business. As a result, the Brand does not have any equity in the market.

What should brand owners do in order to cure this disease? What do we do to enable the brand to speak and establish an emotional connection with the market?

Breaking the silence

Let’s have a story about Apple. Steve Jobs, Steve Wozniak and Ronald Wayne established Apple in 1976, but conflict between Steve Jobs and the Apple directors meant Steve to left the company in 1985 and founded NeXT Computer in the same year. What happened next? NeXT Computer becomes a bug success. NeXT software becomes the base of Mac iOS. In 1996, Mac decides to acquire NeXT, and appoints Steve Jobs as the new CEO of Apple. Apple becomes one of the biggest companies in the world through the development of the iMac, iPod, iPad, and iPhone. Steve Jobs becomes one of the top CEOs and innovators in the world.

A powerful brand always starts with the brand owner. A powerful brand should have the owner’s vision and the owner’s personality. The owner’s DNA should be manifest in the brand. The brand is unique because the thoughts and aspirations of the owner are unique.

Like Steve Jobs with Apple & NeXT, Steve Jobs passion and aspiration shone through the products, communications, and innovations that differentiated the companies from their competitors.

This created an emotional bond between Apple and its customers.

With the owner’s DNA, a brand will have a personality to show to stakeholders, internally and externally. This can convey an authentic experience to the customer. It will enable the brand to establish its identity in the market, make the customer believe, not only on the products, services, and other tangible things, but in the brand itself.

A strong brand will become a beacon for employees, management, directors and other internal stakeholders, giving clear direction that will enable the company to survive amid competition.

In conclusion, Silent Brand is not incurable, but it needs commitment from the owner to make the brand live. It needs consistent effort to ensure the brand speaks its identity in the market.

Ryandwana P.F is brand consultant at DM IDHOLLAND and Daniel Surya is its chairman and president for Southeast Asia.

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/16/breaking-silence-theory-and-practice.html

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑